lp2m.or.id, Padang Pariaman – Berkat doa restu dari Amak, Allhamdullillah dari kurang lebih 25 orang yang diseleksi tim Jarpuk dan LP2M, aku diterima sebagai murid atau warga belajar di Sekolah Perempuan Akar Rumput. Kegiatan ini sudah kuidam-idamkan dari dulu. Kerena di jenjang pendidikan formal, aku hanya bisa menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Umum (SMU). Ketidakberdayaan orang tuaku untuk membiayai pendidikan sampai jenjang universitas, tidak kusesali. Usia renta mereka merupakan cambuk untukku, memahami kondisi ekonomi keluarga saat itu. Hal itu juga yang memotivasiku untuk segera mendapatkan pekerjaan.
Allhamdullilah bermodalkan ijazah SMU tersebut, pada April tahun 2003 aku diterima menjadi perangkat Nagari di kantor Wali Nagari Koto Tinggi. Menjadi staf termuda kala itu merupakan peluang besar bagiku untuk mengikuti berbagai pelatihan dan kegiatan, proyek-proyek Nagari berskala kecil. Seperti terlibat di kegiatan pendataan, mengkomodir suatu acara atau rapat atau mendampingi tamu yang berkunjung ke korong-korong. Bergaul dengan masyarakat baik usia tua, muda, anak-anak dan dewasa, laki-laki maupun perempuan dan dari latar belakang pendidikan yang berbeda, hal yang biasa bagiku. Menjadi pendengar yang baik, sopan santun dan bahasa yang sederhana, modal pergaulanku dengan mereka waktu itu.
Modal pergaulan yang sederhana tersebut, hari demi hari makin bertambah. Apalagi semenjak aku bergabung dengan kelompok perempuan yang difasilitasi oleh LP2M. Dengan intens mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan LP2M semakin menambah wawasan dan pengetahuanku. Hal-hal yang kudapatkan dalam pelatihan tersebut kuaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun masih minim yang kuserap dari berbagai pelatihan, aku mencoba membagi kepada kawan-kawan, terutama sesama anggota kelompok dampingan LP2M.
Manusia secara umum memang tidak pernah puas dengan apa yang telah di dapatnya. Bagitupun diriku dengan kebutuhan akan ilmu. Walaupun sudah sering mengikuti berbagai pelatihan dari lembaga formal atau pun non formal aku masih merasa pesimis. Karena dalam berbicara dengan lawan bicara, aku ekstra hati-hati, hal ini sudah terpatri semenjak aku kecil. Karena orang tuaku selalu menasehati “mangecek di bawah-bawah, mandi di baruah-baruahai”. Tidak boleh meninggi dalam bicara dan tidak boleh sombong. Begitupun dalam keluarga aku hanya bicara seperlunya. Urusan pekerjaan, pertemanan dan masalah-masalah yang kutemui diluar, jarang sekali kubawa pulang. Bahkan hampir tidak pernah.
Aku memang tidak banyak bicara dan gurauan dengan orang lain, tapi dalam mengambil tiap-tiap keputusan ataupun berunding, mereka selalu mengandalkanku. Bahkan untuk berunding dengan Mamak (datuk/penghulu) sekalipun. Pernah dalam perundingan, aku dan amak yang mengunjungi dan mengambarkan langsung kepada Datuk/penghulu. Hingga acara atau hajat tersebut selesai atau tercapai, padahal waktu itu aku masih single.
Akan tetapi setelah aku menjadi salah satu dari warga belajar perempuan akar rumput, ternyata minim sekali modal teknik komunikasiku dalam keluarga maupun dengan masyarakat sekitar. Namun di Sekolah Perempuan Akar Rumput, aku mengetahui bagaimana menjadi lawan bicara yang menyenangkan bagi siapapun. Tapi hal itu tidak mudah untuk menerapkannya. Perubahan sikap dan prilaku pasifku sulit untuk dirubah. Aku tidak bisa menjadi narasumber utama dalam suatu pembicaraan ataupun diskusi, kecuali sudah ada bahan yang akan didiskusikan.
Terlepas dari kondisi di atas, menjadi warga belajar di Sekolah Perempuan Akar Rumput (SPAR) sangat memberikan banyak manfaat bagiku. Komunikasi dalam keluarga dan masyarakat mulai kuperluas dan ku praktekkan seperti yang kudapat di SPAR. Aku menjadi termotivasi mengurangi kebutuhan/pengeluaran keluarga dengan semakin banyak menanam aneka kebutuhan pangan dapur. Tanaman ini memang sudah kuusahakan dari dulu, namun karena sibuk menjalani bisnis warung nasi, aku jadi mengabaikan tanaman-tanaman tersebut.
Dalam keseharian aku menerapkan hal-hal yang kudapat di SPAR, seperti dalam diskusi aku berusaha memahami pendapat teman dengan tidak menyanggah atau menyalahkan, namun aku mencoba merespon dengan kalimat positif, sedangkan dengan memberi bentuk-bentuk ketidakadilan gender, aku baru sebatas memahami sesuai pemahamanku saja. Tapi karena sudah memiliki pengetahuan, walaupun belum maksimal, aku berusaha keluar dan mengajak perempuan lain untuk keluar dari bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut.(Marsusi Luthfi)