Padang, 30 November 2024 LP2M kembali menunjukkan komitmennya dalam memperjuangkan hak perempuan dan anak melalui kegiatan strategis yang berlangsung di The ZHM Premiere, Padang. Dengan melibatkan peserta yang terdiri dari tokoh adat, tokoh agama, dan perwakilan keluarga pembaharu, kegiatan ini berfokus pada penguatan kesetaraan gender, inklusi sosial, dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Mengapa Tokoh Adat dan Tokoh Agama?
Tokoh adat dan tokoh agama memiliki peran strategis sebagai pilar masyarakat yang mampu memengaruhi pemikiran dan sikap kolektif. Dalam acara ini, mereka dibekali pemahaman tentang bahaya perkawinan anak, pentingnya kesetaraan gender, dan bagaimana mendukung penyandang disabilitas agar lebih inklusif.
Sebagaimana disampaikan oleh narasumber, Prof. Dr. Afrizal, M.A., “Fenomena kekerasan terhadap perempuan dan praktik perkawinan anak bukan hanya melanggar hak anak, tetapi juga menghambat tumbuh kembangnya sebagai individu. Kita perlu mengubah pola pikir masyarakat untuk memahami bahwa ini adalah masalah serius.”
Diskusi yang berlangsung penuh antusiasme mengungkap berbagai tantangan di lapangan, seperti stigma terhadap anak disabilitas, dilema pernikahan dini, dan pernikahan siri. Beberapa peserta, seperti Bapak Joni dari Nagari Koto Tinggi, menyoroti pentingnya strategi untuk mengubah pola pikir masyarakat yang masih memandang pernikahan dini sebagai solusi bagi anak yang tidak melanjutkan pendidikan.
Menanggapi hal ini, Prof. Afrizal menekankan pentingnya kolaborasi antara tokoh adat, agama, dan keluarga pembaharu untuk memberikan edukasi yang berkelanjutan. Selain itu, perlu upaya aktif dari pemerintah untuk mendukung program-program perlindungan anak dan perempuan di tingkat desa atau nagari.
Harapan dan Tindak Lanjut
Sebagai hasil dari kegiatan ini, para peserta mengambil langkah konkret dalam memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan anak. Salah satu harapan utama adalah terciptanya kolaborasi yang berkelanjutan antara tokoh adat, tokoh agama, keluarga pembaharu, dan pemerintah. Edukasi masyarakat tentang dampak negatif perkawinan anak akan dilakukan secara berkala, disertai dengan upaya meningkatkan akses pendidikan dan keterampilan bagi anak-anak, termasuk anak-anak penyandang disabilitas.