Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sejak Maret 2020 memberi dampak langsung terhadap semua lini kehidupan. Dampak langsung yang terasa adalah krisis pangan terutama bagi masyarakat urban atau perkotaan. Namun, bagi masyarakat adat Mentawai Covid-19 tidak berpengaruh terhadap ketersediaan pangan keluarga karena masyarakatnya masih berladang dan menanam pangan lokal. Situasi berbeda terjadi di pada kabupaten lain di Sumatera Barat, selain Mentawai. Beras menjadi komoditi utama yang berpengaruh paling besar terhadap Garis Kemiskinan (di perkotaan dan di perdesaan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2020 tercatat sebesar 76,03 persen.Berdasarkan Profil Kemiskinan Sumatera Barat Maret 2020, yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat No. 28/07/13/Th XXIII, 15 Juli 2020 menyatakan bahwa pada Bulan Maret 2020, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Sumatera Barat mencapai 344,23 ribu orang (6, 28 persen), bertambah sebesar 1,14 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2019 yang sebesar 343, 09 ribu orang (6, 29 persen). Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2019 sebesar 4, 71 persen naik menjadi 4, 97 persen pada Maret 2020. Sementara persentase penduduk miskin didaerah perdesaan pada September 2019 sebesar 7,69 persen turun menjadi 7, 43 persen pada Maret 2020. Situasi ini menunjukkan bahwa Sumatera Barat Darurat Pangan, pemerintah gagal dalam mewujudkan kedaulatan agraria. Reforma agraria yang mestinya menjadi instrumen membangun ketangguhan warga melalui kepemilikan lahan guna memenuhi kebutuhan gagal diwujudkan. Masyarakat gagap memenuhi kebutuhan dasar, negara alpa dalam menfasilitasi warga. Harapan bahwa petani, perempuan tani dan masyarakat adat menjadi penyangga ekonomi negara ternyata saat ini berada dititik nadir.Selain itu, selama 60 tahun mandat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) untuk mewujudkan keadilan agraria dengan memperhatikan prinsip kesetaraan gender dalam pengelolaan sumber-sumber agraria telah diabaikan. Fakta hari ini menunjukan semakin banyak Undang-undang dan kebijakan lainnya yang menfasilitasi kepentingan pasar bebas dan investasi dalam merampas sumber-sumber agraria, MP3EI, RUU Cipta Kerja, serta RUU sektoral lainnya. Situasi ketimpangan penguasaan agraria terus menerus dibiarkan, telah menyebabkan pemiskinan masyarakat dan hilangnya kedaulatan perempuan atas sumber-sumber kehidupannya. Bukannya mengatasi persoalan tersebut, pemerintahan justru semakin tersesat dalam melaksanakan agenda reforma agraria.Pemerintahan tidak melihat peran penting dan situasi khusus perempuan dalam pengelolaan sumber agraria. Bagi perempuan, tanah, air dan hutan adalah tempat untuk hidup dan menyediakan sumber kehidupan untuk kelangsungan keluarga dan komunitasnya. Meski secara faktual, perempuan banyak berkontribusi dalam proses produksi, namun peran ini dinilai hanya membantu laki-laki sebagai kepala keluarga. Sehingga perempuan dibatasi akses dan kontrolnya atas sumber-sumber agraria. Diskriminasi dan ketidakadilan gender ini telah gagal diatasi oleh Negara Indonesia sebagai Negara pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Agenda Reforma Agraria minus perspektif gender dan inklusi.Momentum Hari Tani, 24 September, menjadi momen refleksi serius bagi bangsa ini. Dinamika yang hadir saat ini, ketika pemerintah mempercepat perumusan RUU Cipta Kerja/Omnibus Law dipandang semakin memperparah ketimpangan struktural yang terjadi ditingkat masyarakat, semakin memperjauh jurang pengusaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Sehingga, Kami memandang bahwa semua kebijakan yang mengkhianati kedaulatan rakyat, RUU Cipta Kerja salah satunya, harus dianulir dan digagalkan. Disisi lain, menjadi penting bagi pemerintah daerah untuk membangun kebijakan berperspektif gender dan inklusi yang mendukung perekonomian lokal dan pasar lokal, sebagai jaring pengaman bagi masyarakat dalam memperbaiki taraf hidup dan pemenuhan kebutuhan. Karena ketika Masyarakat Lemah Negara Rentan, Kedaulatan Atas Pangan adalah Kekuatan Negara. 60 tahun silam, tepatnya tanggal 24 September 1960, Rancangan Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan kemudian disahkan oleh Presiden RI Soekarno menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang juga dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). “Bahwa tanggal 24 September, hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, merupakan hari kemenangan bagi Rakyat Tani Indonesia, dengan diletakkannya dasar-dasar bagi penyelenggaraan Landreform untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme dalam lapangan pertahanan, agar Rakyat tani dapat membebaskan diri dari macam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melapangkan jalan menuju kearah masyarakat adil dan makmur…” (Keppres No. 169 tahun 1963 tentang Hari Tani, ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 26 Agustus 1963)Kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), menjadi tonggak sejarah kedaulatan Bangsa Indonesia terhadap tanah dan sumber daya alam yang berada di bumi Indonesia. Cita-Cita bahwa Pemerintah berusaha supaya usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Cita-Cita bahwa Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta. Cita-Cita bahwa Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria, semua cita-cita yang termaktub pada Pasal 13 UUPA ternyata jauh panggang dari api.
Narahubung (Isan : 08117056290) Koalisi untuk Keadilan Agraria (KuKA) Sumatera Barat