lp2m.or.id, Padang -Sungguh sangat membahagiakan sekaligus membuat gamang, ketika saya diminta untuk memberi pengantar sebuah buku mengenai isu gender dalam sistem adat Minangkabau dalam konteks Indonesia saat ini, yakni Indonesia di era neoliberalisme. Sebagai orang Jawa, saya merasa sangat berbahagia mendapat kesempatan untuk memberikan pengantar buku ini, karena hal ini memaksa saya untuk belajar lebih dalam lagi untuk memahami adat Minangkabau dan adat-adat masyarakat lainnya di Indonesia. Namun, mengulas adat Minangkabau pada era zaman ini, yakni saat yang paling tidak toleran
terhadap eksistensi hukum dan masyarakat adat, membuat saya merasa cemas, karena dalam menulisnya memerlukan tingkat sensitivitas yang tinggi. Hal ini
mengingat, bahwa era neoliberal saat ini juga dikenal sebagai era rekolonisasi, suatu era yang sangat mengancam bagi eksistensi masyarakat adat. Lagi pula jika kita tidak hati-hati dalam menganalisisnya, tanpa disadari kita bisa terjebak malah menjadi pemberi nasihat akan berlangsungnya kolonialisme model baru,
juga proses kolonialisme antara satu adat suku bangsa yang lain, bahkan kita bisa menjadi penganjur kolonialisme yang mengenakan adat sebagai jalan pelicin.
Oleh karena itu, dalam memberi pengantar ini, saya ingin melihat adat dalam bentuk hakikat utamanya, yakni adat diciptakan suku bangsa sebagai pelindung
bangsa tersebut dari segala bentuk ancaman dalam konteks sistem informasi sosial global neoliberal saat ini. Adat termasuk adat Minangkabau juga harus
saya lihat sebagai perisai bagi masyarakat Minangkabau untuk menghadiri tantangan zaman tersebut.
Dalam pengantar pendek yang sebenarnya lebih merupakan apresiasi dan sambutan ini, saya hanya akan membahas beberapa persoalan yang menjadi
fokus dari bahasan buku ini yakni peranan “Bundo Kanduang” sebagai salah satu lembaga adat Minangkabau yang menyangkut posisi kaum perempuan dan merupakan sistem adat nagari. Perlu ditegaskan bahwa dalam membahas posisi Bundo Kanduang dalam sistem nagari pada adat Minangkabau ini, saya
menggunakan analisis gender. Hal ini terutama mengingat bahwa eksistensi lembaga Bundo Kanduang merupakan perwakilan posisi kaum ibu dalam sistem relasi sosial politik di nagari. Dengan kalimat lain, bahwa persoalan gender ternyata juga muncul ketika proses demokratisasi dalam pengelolaan sumber
daya alam, juga terjadi ketika terjadi perubahan kebijakan untuk kembali meneguhkan “local governance” nagari yang pada kenyataannya diwujudkan
melalui pemberdayaan Badan Perwakilan Desa (BPD) di seluruh Indonesia. Dan di Sumatera Barat proses demokratisasi itu ditujukan untuk melakukan
transformasi terhadap nagari di seluruh Provinsi Sumatera Barat.
Untuk mengetahui lebih lanjut Hasil Penelitian PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN: Minang dalam Sistem Masyarakat Matrilineal , silakan meng-klik tautan berikut: https://drive.google.com/file/d/1F96lKj2_9XjhbVX-O-pAwVYlrXm3ZJJ3/view?usp=sharing