Penanganan pengamanan aksi demonstrasi yang terjadi tanggal 8-9 Oktober 2020 di DPRD Sumatera Barat seolah-olah dilakukan dengan tidak profesional, beberapa tindakan represif dilakukan oleh petugas pengaman yang berasal dari Polda Sumatera Barat dan beberapa Polres. Setidaknya 250 orang pelajar dan 5 orang mahasiswa ditangkap, diamankan dan diinterogasi oleh Kepolisian.Pada tanggal 9 Oktober, setidaknya ada 163 orang masyarakat (rata-rata pelajar dan anak muda) dicokok dan diamankan pihak kepolisian di Mako Brimob. Mereka yang dicokok dan diperiksa tidak didampingi oleh orang tua dan tim penasihat hukum. Berbagai dalih yang disampaikan oleh pihak kepolisian untuk menghalang-halangi orang tua atau PH untuk menemui pelajar dan anak-anak muda yang ditangkap, salah satunya adalah adanya larangan langsung dari Kapolda. Pola yang sama juga terjadi di berbagai lokasi lain di Indonesia, seperti Surabaya, Makassar dan Jawa Barat.
Persoalan lain dari yang menjadi masalah baru adalah pernyataan Kapolresta Padang di media lokal dan Brimob Sumbar melalui akun media sosial @brimob_sumbar yang menyatakan “ tuduhan bahwa siswa STM menerima bayaran untuk melakukan aksi demonstrasi”. Tuduhan ini merupakan persoalan serius yang perlu disikapi, karena aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa, buruh, petani, pelajar dan masyarakat merupakan reaksi atas kebijakan Pemerintah Indonesia (Presiden dan DPRRI) yang masih saja membahas dan mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sedari awal telah diingatkan oleh Publik untuk tidak dilanjutkan karena cacat secara hukum dan prosedural serta tidak pro pada kepentingan rakyat (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).Tuduhan-tuduhan tersebut tentu wajib dibuktikan oleh pihak Kepolisian, apabila nantinya terbukti bahwa tidak ada masyarakat yang menyuarakan penolakan omnibus law yang membayar para pelajar yang diamankan tersebut, atau yang membayar adalah para penyusup, maka pihak kepolisian berkewajiban untuk menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Jangan sampai Kepolisian sebagai penegak keamanan malah terjebak dalam membangun kontra opini dengan menyampaikan informasi-informasi yang menyesatkan.
Beberapa catatan yang dikumpulkan KMS terkait penangkapan sewenang-wenang penegak hukum dalam Aksi pada tanggal 8 dan 9 Oktober 2020:
1. DRA, 15 tahun, kebetulan sedang magang di salah satu CV di dekat kantor DPRD sumbar, diminta untuk membeli rokok oleh pembimbing, namun selang beberapa lama dia tak kunjung kembali dan ternyata sudah berada di Mako Brimob sumbar
2. GD, 14 tahun, korban dari rumah di tabing jam 15.39 menuju bengkel ayahnya di jalan khatib untuk mengantar karbit, lalu ditunggu ayahnya namun tidak sampai-sampai, ternyata sudah di Mako Brimob
3. AA, 15 tahun, korban mau latihan bola di brandon (dibelakang basko), ketika lewat di DPRD Sumbar ternyata sudah tidak terlihat lagi, ternyata sudah di Mako Brimob.
Atas tindakan yang berujung pada munculnya kekerasan sesungguhnya mesti menjadi evaluasi diri bagi institusi kepolisian yang selama ini justru mempertontonkan kesewenang-wenangan pengamanan massa aksi secara terang-terangan hingga memunculkan sentimen negatif dari peserta aksi pelajar. Oleh karena, polisi mesti mengupayakan pendekatan humanis dan kebijaksanaan untuk tidak terpancing emosi dalam penanganan tugas pengayoman terhadap kebebasan berpendapat.
Dalam situasi ini, kami memberikan sikap sebagaimana berikut:
- Aspirasi kaum muda dari pelajar mesti juga dilindungi oleh negara. Kepolisian mesti memprioritaskan kebijaksanaan dan kemanusiaan dalam pengawalan aksi yang juga diikuti pelajar. Penting bagi semua institusi kepolisian tidak melakukan stigma negatif dan menangkap semua pelajar yang ikut aksi. Perlu dipahami bahwa kehadiran pelajar didasari dari empati terhadap nasib bangsa.
- Bagi orang tua pelajar agar menghargai aspirasi anak-anaknya dan selalu mengingatkan agar melakukan aksi-aksi damai.
- Kepolisian mesti melakukan pengayoman terhadap semua peserta aksi tak terkecuali pelajar. Kepolisian mesti patuh dan konsisten menerapkan Perkap Nomor 2 Tahun 2019 dan tidak menggunakan kekerasan.
- Siapapun harus menghargai kebebasan menyampaikan pendapat di depan umum dan menghargai keberagaman sikap terhadap UU Omnibus.
- Meminta ombudsman untuk melakukan serangkain tindakan pemeriksaan terhadap prosedur penangkapan yang patut diduga tidak sesuai dengan prosedur hukum
Hormat Kami;
Masyarakat Sipil Sumatera Barat
1. LBH Padang
2. Walhi Sumbar
3. UKM PHP Unand
4. LAM&PK FHUA
5. Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Unand
6. Perkumpulan Qbar
7. Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M)
8. Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM)
9. Negara Mahasiswa Fisip Unand
10. SIRIAH SUMBAR
11. Roni Saputra (Aktivis/Pengacara)
12. Tanhar (Wartawan)
13. Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumbar
14. PBHI Sumbar
15. Feri Amsari (Akademisi)
16. Arif Paderi (Penggiat Sosial)
17.Fabio Dinasti (Penggiat Sosial)
18. BEM Fakultas Hukum Unand.
19. Feri Ardila (Pengacara)
20. Aksi Kamisan Padang
21. Gerakan Kolektif Sumbar
22 Daulat Institute
23. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sumbar
24. Hendriko Arizal (Akademisi)
25. Khairul Fahmi (Akademisi)
26. WCC Nurani Perempuan
27. Wendra Yunaldi (akademisi)
Cp.
081267410008 (Wendra)
08113345654 (Uslaini)
082348242874 (Doko)